Catatan: Wahyudi El Panggabean
“Jadilah pemberani. Ambiilah risiko. Tidak ada yang bisa menggantikan pengalaman” (Paulo Celho_Novelis dari Brazil).
JOURNALISTS a Lion Mentality. Wartawan harus Bermental Singa. Ya, jika wartawan bermental domba, akan dimangsa oleh “predator”-nya.
Terlebih saat melakukan investigasi: mengungkap jaringan Mafia Bisnis BBM bersubsidi yang digunakan para mafia mengeruk keuntungan dari selisih harga. Padahal, Negara dirugikan dalam jumlah spekatukler.
Jaringan Mafia BBM ini, tumbuh subur dan melibatkan banyak pihak. Mulai dari APH sampai kepada kalangan yang menjadikan institusi pers sebagai tameng. Banyak yang ikut bermain.
Namun, saat berburu informasi Mafia BBM inilah wartawan paling sering menjadi korban manipulasi, kekerasan fisik dan kriminalisasi.
Dari peristiwa-peristiwa tragis ini, agaknya banyak hikmah yang mesti dipetik sebagai pelajaran bagi rekan pers untuk standar kinerja profesi di masa depan.
Artinya, bagi kalangan wartawan yang masih teguh dengan idealisme, butuh skill jurnalis mumpuni, profesionalisme dan integritas, jika ingin mengungkap jaringan mafia ini.
Di luar itu, kesiapan mental si Investigator sangat dibutuhkan. Sang Wartawan harus bermental singa. Perlu strategi perburuan dengan ekstra hati-hati.
Tidak terbatas pada investigasi Mafia BBM, sebenarnya. Tetapi untuk semua perbruan informasi dari Narasumber yang “sulit”. Karakter dan mental si Wartawan adalah modal utama.
Keharusan seorang Wartawan bermental singa, sebenarnya atas amanah Kode Etik Jurnalistik Indonesia (KEJI).
Kode Etik ini adalah pedoman dan standar kerja bagi seorang wartawan. Dengan istilah praktis, yah…semacam buku petunjuk.
Coba baca & simak secara saksama semua isi Pasal KEJI itu. Semua pasal itu menuntut keberanian, kearifan, kecerdasan, kreativitas dan karakter dari seorang wartawan.
Amanah dalam pasal-pasal KEJI inilah yang mengharuskan seorang wartawan memiliki mental berburu seperti mental berburu seekor singa.
Perhatikan! Seekor singa bukanlah yang tercepat. Bukan yang terkuat. Juga, bukan yang terbesar. Tetapi, singa bisa tampil sebagai “Raja Hutan”.
Seekor singa, tidak pernah menjelaskan dirinya kepada domba. Singa tidak butuh tepuk tangan dan menjelaskan dirinya sebagai “Raja”.
Diamnya, adalah ancaman. Tatapannya, adalah peringatan. Langkahnya, adalah keputusan. Satu auman saja, sudah cukup untuk memberitahu dunia, siapa yang jadi “raja”.
Jika singa sudah memutuskan untuk pergi berburu, risiko apapun ‘kan dihadapinya.
Karakter dan kredibilitas Singa, sesungguhnya adalah pekerti yang mempermaklumkan: kita tidak harus memuaskan banyak mulut. Hidup adalah menaklukkan medan.
Nah, bagi Anda yang saat ini, tengah menekuni profesi wartawan, Anda_mau tidak mau_memang harus jadi seorang pemimpin.
Paling tidak, pemimpin, bagi diri Anda sendiri, dalam menjalankan prosesi kinerja profesi Anda.
Jangan coba-coba, orang orang bermental domba memasuki dunia wartawan. Lantas, bergerombol meminta konfirmasi ke mafia BBM, misalnya. Tentu saja, para “herder” mafia akan mengeroyoknya.
Terlebih para wartawan bermental domba ini, hanya bermodalkan kartu pers dan domain website.
Tanpa dibekali skil jurnalistik seperti strategi menembus narasumber, teknik wawancara, dan teknik komunikasi, diyakini, herder akan mengepung mereka
“Predator” dan pemangsa wartawan kini, adalah komunitas “orang kuat” yang menimbun kekayaan dari “black market’. Hasil korupsi, mafia BBM, mafia judol, mafia sawit, mafia tanah, sampai ke mafia hukum.
Tantangan bagi profesi wartawan, hari ini, sangat berat. Jika profesi wartawan dijalani, tanpa nyali, tanpa skill, jurnalis tanpa integritas, ini sangat berbahaya.
Menurut pengamatan saya selama ini, sebagian kasus kekerasan terhadap wartawan bersumber dari si Wartawan itu sendiri.
Konflik antara wartawan dan narasumber biasanya dipicu mindset dan mental si Wartawan yang tidak mampu memikul tuntutan dari profesinya.
Terkadang, situasi membutuhkan etika (moral), justru etiket (tata Krama) saja tidak dimiliki si Wartawan.
Lantas, datang pula bergerombol, patentengan, merenncanakan permintaan konfirmasi dengan si Narasumber, yang juga patentengan dengan perilaku kejahatannya.
Yah…, sudah! Lengkaplah, syarat untuk “adu jotos”. Sebab, komunikasi yang tidak produktif, sudah mengawali pertemuan mereka.
Gerombolan wartawan merasa sok jago, sedangkan si Narasumber sudah melihat gejala ketakutan dari gerombolan ini. Yah…., dimangsanyalah.
Padahal, permintaan konfirmasi, untuk memenuhi azas perimbangan berita, seyogianya dilakukan secara adem. Secara senyap.
Strategi ini urgen: Agar narasumber yang diduga, melakukan tindak kejahatan tidak merasa terkejut.
Meminta konfirmasi, adalah “senjata” mematikan seorang wartawan. Tetapi ingat, senjata itu tidak mesti dipamerkan. Tidak perlu gembar-gembor. Tidak butuh bacot.
Teknik penggunaannya juga harus dengan cekatan dan terukur lewat metode berkomunikasi yang santun dan menyejukkan. Kalau tidak, buruan bisa meronta dan balik menyerang.
Jangan sampai, wartawan yang semula ingin berburu berita, malah yang terjadi sebaliknya: wartawan jadi korban.
Tetapi, terus terang saja, tugas jurnalistik ini, memang mesti dilakoni orang “bermental singa”. Bagi individu yang bermental domba, tugas jurnalistik bisa menjadi bumerang. Menghancurkan dirinya sendiri. Lebih dari itu, sekaligus merusak citra profesi wartawan.
Berikut beberapa poin penting terkait data kekerasan terhadap wartawan di Indonesia: Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis sepanjang tahun 2024.
Kekerasan fisik mendominasi: Bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi adalah kekerasan fisik.
Selain kekerasan fisik, jurnalis juga menghadapi ancaman, intimidasi, dan kriminalisasi.
Beberapa contoh kasus termasuk dugaan pembunuhan terhadap jurnalis perempuan, pemukulan dan pengancaman terhadap jurnalis saat peliputan, serta kriminalisasi dengan UU ITE.
Meskipun tidak ada data spesifik yang secara langsung mengaitkan rendahnya keterampilan jurnalis dengan tingginya kekerasan terhadap wartawan.
Namun, beberapa faktor terkait dengan keterampilan jurnalis dan kondisi lingkungan kerja dapat memicu potensi kekerasan.
Kurangnya pemahaman tentang kode etik, prosedur peliputan yang aman, dan keterampilan negosiasi dapat membuat jurnalis lebih rentan terhadap kekerasan saat bertugas.
*)Drs. Wahyudi El Panggabean,M.H.,MT.BNSP., C.PCT adalah seorang Wartawan Senior dan Dirut Lembaga Pendidikan Wartawan, Pekanbaru Journalist Center (PJC).