JAKARTA, KUJANGPOST.com – Pemerintah memutuskan untuk menghapus klasifikasi beras medium dan premium sebagai dampak dari terungkapnya praktik pengoplosan beras oleh sejumlah produsen nakal. Keputusan ini diambil usai rapat koordinasi yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, pada Jumat (25/7/2025).
Zulkifli menjelaskan bahwa selama ini pembagian kelas beras semacam itu tidak berdasar pada kualitas bahan baku, melainkan hanya pada pengemasan dan merek. Karena itu, pemerintah sepakat untuk menyederhanakan klasifikasi menjadi satu jenis beras umum saja.
“Ke depan tidak ada lagi istilah beras premium atau medium. Beras cukup disebut beras, tanpa embel-embel kelas,” ujar Zulkifli.
Namun, Zulkifli menegaskan bahwa beras khusus seperti Pandan Wangi, Basmati, atau Japonica akan tetap dikenali berdasarkan varietasnya, dan harus memiliki sertifikat resmi dari pemerintah.
Sementara itu, terkait penetapan harga, pemerintah masih melakukan pembahasan dengan pihak-pihak terkait, termasuk Badan Pangan Nasional (Bapanas) dan Kementerian Pertanian. Rentang harga yang tengah digodok berkisar antara Rp12.500 hingga Rp13.500 per kilogram.
Langkah ini diambil menyusul temuan Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri terhadap praktik pemalsuan mutu beras oleh beberapa perusahaan. Sedikitnya tiga produsen dan lima merek dilaporkan mengedarkan beras oplosan, dengan total barang bukti mencapai 201 ton.
Beberapa perusahaan yang terseret dalam kasus ini antara lain PT PIM dengan merek Sania, PT FS dengan merek Ramos Merah, Ramos Biru, dan Ramos Pulen, serta Toko SY yang memasarkan merek Jelita dan Anak Kembar. Produk-produk tersebut dikemas dalam ukuran 2,5 hingga 5 kilogram dan dipasarkan sebagai beras premium meski kualitasnya tidak sesuai label.
“Dalam penggeledahan, kami juga menyita dokumen-dokumen legalitas seperti izin edar, sertifikat merek, SOP perusahaan, hingga laporan produksi dan maintenance,” ungkap Brigjen Helfi Assegaf, Ketua Satgas Pangan Polri.
Ia menyatakan, kasus ini telah naik ke tahap penyidikan. Ancaman pidana bagi pelaku cukup berat: maksimal 5 tahun penjara dan denda Rp2 miliar untuk tindak pidana perlindungan konsumen, serta tambahan pidana pencucian uang dengan ancaman 20 tahun penjara dan denda hingga Rp20 miliar.
Langkah tegas ini diambil untuk melindungi konsumen dan menjaga integritas program pangan nasional di tengah kekhawatiran publik terhadap praktik dagang yang merugikan.